Resensi
0Saturday, 5 January 2013 by Unknown
POLITIK TANPA PENCITRAAN ALA JOKO WIDODO
Kemenangan
Joko Widodo (Jokowi) dan pasangan nya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi
kegemparan tersendiri dalam peracturan politik nasional. Menantang calon petahana, yang diusung partai
berkuasa, dan empat kandidat lain yang notabene merupakan tokoh-tokoh nasional,
Jokowi-Ahok memenangi dua putaran pemilu kepala daerah gubernur DKI Jakarta
dengan elegan. Jokowi-Ahok adalah sebuah
fenomena!
Berbagai
pihak dan menia mengulas fenomena Jokowi-Ahok. Kemenangan tersebut juga dikupas
di berbagai buku yang terbit seiring konstelasi politik di ibukota. Salah satunya adalah sebuah buku yang ditulis
Bimo Nugroho dan Ajianto Dwi Nugroho yang berfokus pada figur sang gubernur
terpilih yang berjudul “ Jokowi : Politik Tanpa Pencitraan “.
Pada
buku ini, kedua penulis memulai pemaparan mengenai keberhasilan Jokowi di
pentas pilkada DKI Jakarta dengan mengulik masa lalu Jokowi di kota Solo. Mulai dari masa kecilnya yang sederhana namun
penuh kebahagiaan di daerah Manggung yang ada di bantaran kali Pepe, Kota
Solo., kegemaran Jokowi remaja akan musim metal, hingga masa kuliahnya di Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Selepas kuliah, Jokowi merintis usaha nya di bidang mebel. Pasang surut Jokowi menjalani bisnis utamanya
ini digambarkan dengan baik oleh kedua penulis.
Karir
politik Jokowi dimulai pada tahun 2005 ketika mencalonkan diri menjadi walikota
Solo bersama FX Hadi Rudiyatmo yang diusung PDI-P. Tanggal 27 Juni 2005 pilkada kota Solo
dilangsungkan dan berakhir dengan kesimpulan Jokowi-Hadi Rudiyatmo memenangi
kontes politik tersebut dengan total suara 37 %. Berbagai keberhasilan dimasa pemerintahan Jokowi-Hadi
Rudyatmo membawa pasangan ini memenangi pilkada kedua pada tahun 2010 dengan
kemenangan suara mencapai 90% lebih!. Beberapa
fakta keberhasilan tersebut dan aspek-aspek teknis yang dilakukan Jokowi di
kota Solo dipaparkan kedua penulis. Kepemimpinana Jokowi-Hadi Rudyatmo
dirasakan masyarakat berhasil membenahi berbagai aspek di kota Solo; birokrasi,
pasar tradisional, lingkungan hidup, pendidikan, dan kesehatan.
Pasar Depok: Salah satu pasar di Kota Solo |
Pilkada
DKI Jakarta yang menjadi barometer konstelasi politik nasional mengundang
parta-partai politik mempersiapkan tokoh terbaiknya untuk ikut bertarung
menjadi nahkoda ibukota. Setelah melalui
berbagai pertimbangan di tingkat DPP dan pemilih akar rumput, PDI-P, akhirnya memanggil
Jokowi ke Jakarta! Pertarungan memanas !. Apalagi setelah Ahok, bupati negeri
Laskar Pelangi, Belitung Timur, diputuskan mendampingi Jokowi.
Skema
dan strategi diatur masing-masing pihak.
Dukungan dana yang besar dipastikan akan memuluskan sang kandidat
dukungan menguasai tampuk kuasa. Namun,
Jokowi-Ahok ternyata memupus idiom politik itu dengan cara yang elegan.
Pada
buku “ Jokowi” Politik Tanpa Pencitraan “, faktor-faktor keberhasilan
Jokowi-Ahok juga dikupas. Hal pertama yang menjadi faktor penentu keberhasilan
Jokowi-Ahok dalam pertarungan pilkada DKI Jakarta adalah figur kedua tokoh yang
memang pada dasarnya sudah dikenal sebagai tokoh bersih, profesional, dan
peduli akan kebutuhan warga. Baik di
kota Solo maupun kabupaten Belitung Timur, hal ini dapat kita lacak dengan
mudah. Faktor ini sanga menguntungkan kedua figur melihat kondisi perpolitikan
nasional yang sedang begitu keruh lagi berisik akibat terpaan berbagai isu dan
skandal korupsi. Hal kedua adalah
media. Jokowi-Ahok dengan segala sepak
terjangnya telah menjadi media darling, yang selalu menarik diliputnya. Dikala
kandidat petahana dengan koalisi partai dan limpahan dana yang luar biasa
membayar biaya iklan di berbagai media cetak dan elektronik, Jokowi-Ahok malah
tidak memerlukan itu. Memang ada beberapa iklan dimana figur Jokowi-Ahok
ditmapilkan, namun itu adalah atas dasar inisiatif salah satu partai pengusung,
Partai Gerakan Indonesia Raya untuk membuat iklan. Jokowi-Ahok pada dasarnya
menolak pembuatan iklan di media massa karena dirasa pemborosan.
Jokowi-Ahok
dan tim pemenangan, yang terdiri dari pihak partai dan simpatisan, juga
berhasil menjadi tim yang solid. Ada
beberapa pihak memang menjadi berseberangan terutama setelah Jokowi secara
gamblang menjelaskan bahwa pihaknya tidak memiliki dana besar seperti kandidat
lain yang bisa membagi-bagikan uang lelah sebagai bentuk terimakasih atas
dukungan. Namun, atas dasar kesamaan visi untuk mewujudkan Jakarta Baru,
seperti slogan yang diusung kandidat Jokowi-Ahok, tim pemenangan pun
bersatu. Atas koordinasi yang baik, tim
pemenangan bergerilya turun kemasyarakat untuk menyosialisasikan kandidatnya ke
warga, seperti yang sudah dicontohkan sang kandidat. Istilah yang dipopulerkan Jokowi adalah “
Blusukan “ yang berasal dari bahasa Jawa yang kurang lebih berarti “ berkunjung
ke pelosok-pelosok berbecek-becekan”. Taktik gerilya yang dilakukan Jokowi-Ahok
dan tim juga bukan sembarang gerilya.
Daerah-daerah potensial terlebih dulu dipetakan. Daerah dimana disitu
banyak terdapat masyarakat Jawa, Sunda, Tionghoa, pedagang, kelas menengah,
pelajar, mahasiswa, dan orang miskin menjadi prioritas.
Jokowi-Ahok
juga berhasil membuat kampanyenya lebih terasa pop dan merakyat. Mulai dari kemeja kotak-kotak yang fenomenal,
berbagai aktivitas di media jejaring sosial, menyebarkan cd dan koran Jakarta
Baru untuk sosialisasi program, tidak banyak menggunakan media publikasi cetak
karena dianggap akan mengotori, dan tidak mengadakan konsolidasi massa di suatu
tempat, membuat pendekatan kampanye Jokowi-Ahok di masyarakat terasa lebih
humanis. Ketika kandidat lain menyadari
hal ini dan berusaha dengan cepat menirunya, semua sudah terlambat karena
Jokowi-Ahok sudah berhasil membenamkan imajinya di benak masyarakat dengan
kuat.
Putaram
pertama pilkada DKI meloloskan Jokowi Ahok (1.847.157 suara) dan Foke-Nara
(1.476.648 suara) untuk bertarung di putaran kedua yang makin memanas. Berbagai kampanye hitam kedua muncul di kedua
pihak. Bedanya, pasangan Jokowi-Ahok
berhasil mengkondisikan kampanye hitam yang menyerang dengan elegan. Berbagai anasir rasialis keagamaan yang
dilontarkan tidak membuat Jokowi-Ahok sontak membalas. Hal yang terbukti benar untuk dilakukan
karena dukungan Jokowi-Ahok sontak malah melonjak. Jokowi-Ahok memenangkan pilkada DKI
Jakarta. Berusaha mewujudkan visi-misi
Jakarta Baru.
Hal-hal
yang dibahas dalam buku “ Jokowi: Politik Tanpa Pencitraan” menyuguhkan
berbagai informasi sekaligus ilmu yang menarik tidak hanya dalam bidang
politik, namun juga komunikasi dan sosiologi.
Jokowi-Ahok berhasil memberikan penyegaran terhadap iklim politik
Indonesia yang sudah sedemikian keruh dan gerah. Jokowi-Ahok berhasil memberi pelajaran
berharga pada semua pihak bahwa berpolitik dengan santun, pop, santun, ramah
lingkungan, lagi murah bisa dilakukan jika memang ada niatan yang baik bahwa
politik ditujukan untuk mewujudkan sebaik-baiknya kondisi-kondisi di
masyarakat.
Nulisbuku.com
Universitas Indonesia sangat merekomendasikan buku ini untuk Anda baca.
Mewujudkan Jakarta Baru ? |
Category Resensi
Powered by Blogger.